Ekspedisi
Gunung “TRETES”
Disanalah
Kami Bermula
Part III
15
Menit perjalanan tanpa rintangan yang berarti, tibalah kami di pos I. Pos sumber
air sudah dekat, tidak sedikit warga yang menggantungkan dengan sumber air
tersebut. Di pos inilah para pendaki biasanya mengisi ulang botol air minum
mereka, biasanya mereka yang lebih memilih berjalan kaki mulai dari jalan raya
(Krisak). Lama perjalanan kaki dari Krisak kurang lebih 5-6 jam, apabila jalan
kaki dari dusun Ngembong dapat di tempuh kurang lebih 4-5 jam. Untuk ekspedisi
kali ini kami memutuskan untuk menaiki motor hingga kampung terakhir pendakian.
16.30 : @ Pos I (Sumber Air Sudah Dekat)
Kondisi terakhir G. Tretes sangat
tidak terawat, karena memang tidak terjamah lagi oleh banyak manusia, hanya
segelintir orang saja. Faktor tersebutlah yang mendorong kami untuk melakukan
ekspedisi, disamping memang kami sangat merindukan akan keindahan dan keasrian
G. Tretes. Kami menamakan ekspedisi tersebut dengan sebutan “Ekspedisi Babat
Alas”, mengapa demikian? Karena perjuangan kami untuk mencapai puncaknya
tidaklah mudah. Banyak cobaan dan rintangan yang kami hadapi, mulai dari jalan
yang sudah tertutup semak dan pohon ilalang, pohon tumbang yang menghalangi
jalan, berjalan merangkak kesana-kemari, jalan yang tingkat kemiringannya
hampir 90 derajat (film 5 cm), hingga nyasar yang mengharuskan kami kembali
memutar, akan tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah kami.
Fauna
dan flora di G. Tretes tidak banyak seperti dahulu kala, ulah tangan-tangan
tidak bertanggung jawablah yang patut dipersalahkan, Indonesia banget. Dahulu
kala G. Tretes identik dengan rotan dan
sumber air tretesnya. Hampir setiap orang membawa rotan ketika pulang dari
mendaki, akibat eksploitasi berlebihan tersebutlah kini tidak lagi dapat
dijumpai. Burung kutilang bernyanyi by Dhea Ananda pun jarang kami temui, di
pucuk pohon cempaka sekarang tidak lagi terlihat, yang bersiul-siul sepanjang
hari bukan lagi burung, akan tetapi gerombolan monyet yang wira-wiri kesulitan mencari
makan. Sedikit merinding mendengar suara monyet yang bersahut-sahutan,
terlintas terfikirkan film Planet of the Apes, bagaimana jadinya apabila
benar-benar terjadi. Ah..tidak mungkin, monyet kan nenek moyang manusia. Tunggu
dulu, itu kata pak Darwin dalam bukunya The Descent of Man dan itu hanya teori,
ingat sekedar teori, bukan fakta ilmiah, masihkah kita percaya.
Tepat pukul 17.30 wib, sampailah kami di pos III,
setelah sebelumnya sempat beristirahat sejenak di pos II, sekitar 30 menit
sebelumnya. Pos III merupakan pos terakhir dimana sumber air yang menetes tes
tes berada. Leader kami memutuskan untuk menginap di pos terakhir, yang semula berencana
akan bermarkas di puncak. Hal tersebut dikarenakan hari yang sudah beranjak
petang, sangat membahayakan apabila dilanjutkan untuk mendaki. Akan tetapi
tidak mengapa, justru banyak keuntungan yang kami dapatkan, selain suhu yang
relatif hangat karena bentuk pos yang seperti gua, kami juga dapat minum sumber
air tretes sepuasnya.
17.30 : @Pos III (Air
Tretes dan Goa)
Kumandang adzan maghrib
sayup-sayup terdengar dari kaki gunung, membuat kami merasakan kebahagiaan yang
tiada taranya. Bulan sudah tidak sabar menunjukkan batang hidungnya, kamipun
bersegera membuat base camp, sebagian ada yang mendirikan tenda, mencari kayu
dari robohan pohon untuk perapian, ranting dedaunan untuk alas, dan menempatkan
botol-botol di tetesan sumber air. Setelah semuanya dirasa cukup, kamipun melaksanakan
shalat magrib dan bersiap memasak dengan bekal seadanya. Betul sekali, mie
instan merupakan menu andalan bagi para pendaki. Makan malam kami terasa nikmat
karena disantap bersama di iringi suara jangkrik, di haisi cahaya lampu perkotaan
yang terlihat dari base camp, dan sesekali di temani sepoy-sepoy angin malam. Malam
yang benar-benar hebat, kami semua menikmati kebersamaan yang jarang-jarang
kami rasakan.
19.00 : @Menu MieAbon
HuhHah Ala Chef Gondo